Kematian yang Indah
Kematian itu (nyatanya) Indah.
Bagi siapa saja yang meyakini Allah adalah Rabb semesta alam, para Nabi dan Rasul-Nya, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, dan hari akhir, serta segala ketetapan Allah. Begitulah fakta bahwa orang yang muslimin, yang berjalan diatas kebaikan, sehingga kematian adalah momentum yang dinanti-nanti mereka untuk dapat kembali bertemu Allah ta'ala.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan muslim (berserah diri)”. (QS. Ali Imran : 102)
Ada sebuah percakapan yang cukup menarik antara seorang Ustadz dengan Jama’ahnya. Ustadz bertanya kepada Jama’ahnya, “apakah kalian ingin masuk surga?”
Semua Jama’ah menjawab dengan serempak, “Ya!”.
Ustadz bertanya lagi, “Apakah kalian ingin mati hari ini?”
Tiba-tiba forum seketika hening. Tidak ada satupun yang menjawab, atau bahkan seorangpun tidak ingin mati.
Dengan tersenyum Ustadz itu berkata, “Lalu bagaimana kita akan pergi ke surga, jika kita tidak pernah mati”. Ustadz melanjutkan dan bertanya, “Apakah kalian ingin saya berdo’a agar Allah ta'ala memperpanjang hidup kalian?”
Dengan antusias Jama’ah menjawab, “Ya!”.
Ustadz bertanya lagi, “Berapa lama kalian ingin hidup? seratus tahun? dua ratus atau bahkan seribu tahun?”
Bahkan orang-orang yang berusia 80 tahun sudah tampak aneh, apalagi mereka yang berusia lebih dari seratus tahun.
Pertanyaan belum berakhir, Ustadz masih mengajukan pertanyaan, “Apakah kalian mencintai Allah?”
Jawaban para Jama’ah tentu saja “Ya!”.
Ustadz mengatakan, “Biasanya ketika seseorang jatuh cinta, dia akan selalu rindu untuk bertemu dengan kekasihnya, tidakkah kalian rindu untuk bertemu dengan Allah?”
Semua diam, tidak ada yang menjawab.
Kebanyakan dari kita merasa ngeri dan takut membicarakan kematian. Melupakan pembicaraan tentang itu, bahkan kita tidak berani membayangkannya. Bisa jadi hal itu karena kita tidak mempersiapkan dengan totalitas untuk peristiwa setelah kematian terjadi.
Padahal, baik kita mempersiapkannya ataupun tidak, pasti kita akan melalui kematian. Siap atau siap, kematian dengan pasti akan datang menyambut kita. Daripada selalu mengelak, alangkah lebih baik mulai sekarang kita berusaha untuk mempersiapkan diri kita untuk menghadapi kematian.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa: 35)
“Di mana saja kamu berada, niscaya kematian akan menemukanmu, walaupun kamu bersembunyi di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa`: 78)
Esensi dari kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan pulang menuju kepada Allah ta'ala. Dalam perjalanan singkat ini, ada yang kembali dengan perbekalan yang cukup ada yang membawa perbekalan pas-pasan, tetapi ada juga yang terlena sehingga tidak membawa bekal sehingga yang terjadi ia jatuh kedalam azab yang telah dijanjikan. Kebanyakan diantara kita mungkin saja terlalu sibuk dengan urusan dunia bahkan sampai ke titik bahwa dunia ini adalah kehidupan sebenarnya, lupa bahwasanya dunia ini hanyalah rumah persinggahan untuk mencari rumah sebenarnya. Keindahan dunia membuat kebanyakan manusia terlena dan tertidur lelap menapaki jalan kehidupan ini. Ketika kematian menemuinya, maka ia terbangun dari tidurnya selama ini.
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al- Hadid: 20)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah besabda bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian dan mempersiapkannya, “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat’. (HR. Ibnu Majah).
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari)
Dalam kata lain, orang yang paling cerdas adalah barangsiapa yang memiliki visi yang jauh ke depan. Punya anggapan bahwa masa depan sesungguhnya bukan sekadar memiliki mobil mewah, rumah besar, karir yang mentereng, tapi masa depan sejati adalah kematian. Dengan selalu mengingat visinya dan tujuan hidupnya, dia akan selalu bersemangat dalam setiap langkah yang ditapakinya. Visi hidup seorang muslim adalah untuk kembali dan bertemu dengan Allah ta'ala. Karena itu dia merasa, saat kematian adalah saat yang paling indah karena dia kan segera bertemu dengan kekasih yang sangat dirindukan.
Terkadang kita takut menghadapi kematian karena kematian akan memisahkan kita dengan orang-orang dan sesuatu yang kita cintai, sesuatu yang kita hargai. Orang tua, pasangan hidup, anak-anak, saudara-saudara, harta, semua ini menunjukkan bahwa kita mencintai mereka lebih daripada Allah ta'ala. Jika kita benar-benar mencintai Allah, maka kematian itu seperti undangan yang penuh kasih dari-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu Allah, maka Allahpun senang untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya”. ‘Aisyah bertanya,”Wahai Nabi Allah! Apakah (yang dimaksud) adalah benci kematian? Kita semua benci kematian?” Rasulullah menjawab,”Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang mukmin, apabila diberi kabar gembira tentang rahmat dan ridho Allah serta SurgaNya, maka ia akan senang bertemu Allah. Dan sesungguhnya, orang kafir, apabila diberi kabar tentang azab Allah dan kemurkaanNya, maka ia akan benci untuk bertemu Allah, dan Allahpun membenci bertemu dengannya”.
Meskipun demikian, kita tidak boleh meminta untuk mempercepat kematian kita, tidak membunuh diri tanpa alasan dan tujuan yang dibenarkan syari'at. Kematian yang sia-sia tanpa sebab yang jelas malah akan menjauhkan kita dari Allah. Bunuh diri tanpa alasan dan tujuan yang benar adalah salah satu bentuk keputusasaan dari rahmat Allah, menginginkan untuk segera menemui ajal hanya karena kesulitan dunia menandakan bahwa kita ingin melarikan diri dari kenyataan hidup.
“Tidak boleh salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, tidak juga berdoa agar segera mati sebelum kematian itu menjemputnya. Ketahuilah, sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian meninggal, terputuslah amalnya. Sesungguhnya seorang Mukmin tidak bertambah umurnya kecuali hal itu akan menjadi baik baginya”. (HR. Muslim)
Kematian yang baik adalah mati dalam upaya untuk membawa kebaikan bagi kehidupan, melakukan kebermanfaatan, mati dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita terbesar, yaitu untuk perdamaian dan kesejahteraan umat, sebagaimana para Nabi terdahulu dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya dan para pengikut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang telah syahid di jalan Allah.
“Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke istana-istana yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Ash-Shaff: 12)
Akhirnya, orang-orang yang diselamatkan (masuk surga) adalah mereka yang menyadari bahwa semua kekuasaan dan kekayaan adalah sarana untuk kembali kepada Allah. Tubuh mereka mungkin bermandikan darah, keringat, dibanjiri air mata, bekerja keras untuk menaklukkan dunia tetapi hati mereka tetap terikat untuk yang dicintai, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal yang terpenting adalah, bagaimana kita dapat berusaha keras, berpikir cerdas dan memiliki hati yang tulus.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al Kahfi: 107-108)
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Semoga kita semua, diberi kekuatan oleh Allah ta'ala agar tetap dibimbing akhlaknya, produktif ibadahnya, dan tetap semangat menikmati hidup yang sementara.
Allahul Musta'an..
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar yang membangun