Istimewa
Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab selalu ingin lebih unggul dari Abu Bakar dalam segi ibadah. Setiap kali ada peluang ibadah, Umar selalu ingin bisa lebih dari Abu Bakar. “Di setiap amalku, aku selalu mencoba untuk bisa mengalahkan (amalan) Abu Bakar”, ucap Umar bin Khattab di suatu pagi.
Kisah yang cukup masyhur adalah saat Umar menginfakkan setengah hartanya, namun Abu Bakar justru menginfakkan seluruh hartanya. Ketika kaum muslimin mendulang kemenangan di perang Tabuk, Umar membagi dua bagian ghanimah yang ia dapat dan menginfakkan setengahnya di jalan Allah ta'ala, sedang separuhnya lagi disisakan untuk keluarga. Ketika Rasul bertemu Abu Bakar dan bertanya apa yang dia tinggalkan untuk keluarganya, Umar harus menelan kecewa karena Abu Bakar menjawab:
“Tidak ada wahai Rasul. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang aku tinggalkan untuk mereka”
Umar sedih, lagi-lagi Umar bin Khattab harus mengakui bahwa Abu Bakar merupakan manusia dengan ketakwaan terbaik setelah Nabi dan Rasul.
Kemudian diceritakan bahwa di suatu pagi seusai shalat subuh, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menjumpai para sahabatnya dengan penuh cinta seraya bertanya “Siapa gerangan yang pagi ini dalam keadaan berpuasa?”
Umar bin Khattab menjawab “Wahai Rasul, semalam aku tidak berniat puasa, maka hari ini aku tidak berpuasa.”
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengangguk pada Umar. Lalu ia menyapu pandangan ke seluruh penjuru, menunggu kalau-kalau ada sahabat lain yang ingin menjawab. Dengan memberanikan diri, Abu bakar lirih menjawab: “Semalam aku juga tidak niat berpuasa wahai Rasul, tetapi pagi ini aku berpuasa, insya Allah.” Rasulullah mengangguk seraya tersenyum pada Abu Bakar yang ditatap tertunduk malu.
“Siapa diantara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” Rasulullah kembali bertanya.
Umar bin Khattab kembali menjawab “Wahai Rasul, kita belum keluar sejak shalat shubuh tadi. Bagaimana bisa ada yang telah menjenguk orang sakit?” para sahabat yang lain mengangguk, membenarkan jawaban Umar yang masuk akal. Abu Bakar menjawab lirih “Saudara kita, Abdurrahman bin Auf sakit wahai Rasul, maka dalam perjalanan ke masjid tadi, aku menyempatkan diri sejenak untuk menjenguknya.”
“Segala puji bagi Allah” Rasul kembali tersenyum seraya menatap Abu Bakar “Dan siapa jugakah yang hari ini telah memberi makan fakir miskin?”
“Kami semua berada di sini sejak shalat berjamaah tadi,” kembali Umar bin Khattab menjawab tegas “Kami belum sempat bersedekah wahai Rasul.” Kali ini Umar harap-harap cemas menantikan jawaban Abu Bakar. Apakah kali ini Abu Bakar juga telah melakukannya? Abu Bakar bungkam terdiam. Umar bin Khattab pun sedikit lega. Ia tidak yakin Abu Bakar juga telah melakukannya seperti yang sudah-sudah. “Bicaralah, wahai Abu Bakar!” Nabi memecah keheningan
“Aku malu wahai Rasul” Abu Bakar menunduk. Suaranya kemudian senyap-senyap terdengar “Memang tadi di luar masjid kulihat seorang fakir sedang duduk kedinginan, sedang di genggaman putraku ada sepotong roti. Maka kuambil roti itu dan kuberikan pada lelaki itu.” Sontak sahabat yang berada di dalam masjid terkaget-kaget.
Hingga saat kepemimpinan Abu Bakar, Umar sempat mengungkapkan kagum, "Sungguh engkau akan membuat pemimpin setelahmu merasa kesulitan, Wahai Abu Bakar". Kesulitannya untuk bisa meneruskan betapa agung dan sucinya keikhlasan seorang Abu Bakar, dan Qadarullah kepemimpinan selanjutnya jatuh kepada Umar bin Khattab.
Ternyata dari beberapa kejadian yang terjadi, sebenarnya ada satu keistimewaan seorang Umar yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar. Saat Rasulullah berdiskusi dengan Umar dan Abu Bakar tentang nasib tawanan perang Badr. Umar memberikan saran dan berkata, “Wahai Rasulullah, mereka telah mengusir dan mendustakanmu wahai Rasulullah. Bunuh mereka. Mereka adalah pemimpin kafir. Allah telah mencukupimu dan tak membutuhkan harta tebusan mereka.”, namun Abu Bakar memberikan saran untuk di maafkan, akhirnya Rasulullah mengikuti pendapat Abu Bakar.
Beberapa saat kemudian Rasulullah keluar dan mengatakan, “Sesungguhnya Allah akan melunakkan hati sebagian di antara mereka hingga menjadi lebih lembut dari hati kalian yang telah lembut. Dan Allah juga akan mengeraskan hati sebagian mereka lebih keras…”.
Hingga kemudian turun QS. Al Anfal : 67 - 68 yang artinya “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalaulah tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."
Ayat tersebut membenarkan pendapat Umar bin Khattab dan menegur Rasulullah, hingga Rasulullah menangis dan berkata, "Sungguh wahai Umar, jika seluruh penduduk Arab mendapatkan azab, pasti hanya engkau yang selamat". Keistimewaan Umar yang tidak di miliki oleh Abu Bakar, yaitu Al Muhaddats, pendapatnya banyak dibenarkan oleh Allah ta'ala.
Jika Abu Bakar di juluki sebagai As Shiddiq dan manusia terbaik setelah Nabi dan Rasul, lalu Umar bin Khattab dijuluki sebagai Al Faruq dan Al Muhaddats. Bukankah di antara keduanya memiliki keistimewaannya masing - masing?
Begitupun kita, kita mungkin tidak bisa sama atau menandingi saudara seperjuangan, sahabat karib yang lain, yang hafalannya mungkin luar biasa, yang sholat malamnya mungkin telah rutin, yang dhuhanya mungkin tidak pernah tertinggal. Namun tidak berarti, kau tak memiliki amalan unggulan yang bisa di banggakan di hadapan Allah ta'ala, sebab setiap kita memiliki potensi taatnya masing - masing, dan setiap kita memiliki amalan yang bisa diunggulkan masing - masing.
Dikisah yang berbeda, Abdullah bin Ummi Maktum, dengan kondisinya yang buta, ia tetap di cintai Allah sebab amalannya. Saat Allah ta'ala memerintahkan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, maka Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang pertama kali menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun ia buta, jarak antara Mekah dan Madinah yang jauh, sekitar 490 Km, ancaman dari orang-orang Quraisy, belum lagi bahaya dalam perjalanan, semua itu tidak menghalanginya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.
Abu Ubaidah Bin Jarrah, dengan bangga mengatakan, "Biarlah gigi ompongku ini menjadi saksi bahwa aku pernah mencabut besi yang menancap di pipi Rasulullah". Lalu Abdullah bin Mas'ud yang di hina sebab betisnya sangat kecil, justru dengan bangga Rasullah shalallahu alaihi wassalam mengatakan, "Demi Allah, betis yang kalian hina itu lebih berat timbangan amalnya dari pada bukit uhud". Sebab setiap kita memiliki amalan masing-masing, maka istiqomah lah, dawam dengan penuh keikhlasan dan kesabaran dengan amalan tersebut, kelak amalan itu yang akan mengistimewakanmu
Bilal Bin Rabbah suara sendalnya sampai terdengar di surga, ternyata amalan yang dikerjakannya terkesan sangat mudah, ia senantiasa menjaga wudhunya. Hanzhalah bin Rahib, jenazahnya dimandikan oleh para malaikat, ternyata amalan istimewanya adalah ia meninggalkan istrinya, Jamilah binti Ubay bin Salul, saudari dari tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, tetapi dia seorang muslimah yang baik, saat malam pengantin dalam kondisi junub, lalu ia pun syahid. Taatnya ia terhadap perintah Nabi shalallahu alaihi wassalam. Jamilah berkata, “Ketika mendengar seruan untuk jihad, ia seketika meninggalkan kamar pengantin kami, tetapi ia dalam keadaan junub (berhadats besar)….”
Ketika hal ini disampaikan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, beliau bersabda, “Itulah yang menyebabkan malaikat memandikan jenazahnya…” Karena itulah Hanzhalah bin Rahib mendapat gelaran “Ghasilul malaikat” (Orang yang dimandikan malaikat).
Bilal dan Hanzhalah berbeda amalan, tetapi keduanya diistimewakan sebab amalan tersebut, maka jangan memandang rendah mereka yang amalannya tak seperti kita, bisa jadi ia memiliki amalan yang ia sembunyikan, sebab amalan kita mungkin berbeda dengan amalnya. Semoga kita bisa berlomba-lomba mengerjakan amal shaleh.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar yang membangun