Pilihan

 

Ada sebuah istilah yang selama ini membuat dahi berkerenyit dan hati penuh tanya, ketika sebagian penuntut ilmu membuat pengelompokan adanya "Ustadz Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz apa dan kajian apa?

Dua kemungkinan. Kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "bid'ah", maka berarti ada ustadz bid'ah dan kajian bid'ah. Sunnah dengan makna apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasul-Nya adalah lawan dari bid’ah, yakni apa-apa yang baru yang tidak dicontohkan oleh Rasul-Nya (Mafhuum Ahlis Sunnah hal. 32, 35). kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "makruh", berarti ada ustadz makruh dan kajian makruh.

Betapa tak nyaman bagi yang terkena gelaran, begitu menusuk relung mereka yang baru saja mengukuhkan niat ingin dekat dengan-Nya.

Tidak, saya tak berniat sedikitpun hendak menyalahkan pembuat istilah. Mereka yang bersemangat menuntut ilmu adalah orang-orang yang dimudahkan jalannya ke surga. Betapa saya berharap menjadi bagian dari derap langkah mereka, walau mungkin hanya senilai anjing bagi Ashabul Kahfi atau bahkan debu yang menempel di kaki pejuang Badr.

Tapi bersama itu, mohon izin saya menukilkan ulang kisah berikut ini.

Suatu kali, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majelis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibnu Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibnu Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”

Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tiba-tiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan menstruasi?”

Semua ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.

Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy Syafi'i.  Di antara ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."

Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita haid memandikan jenazah?”

Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibnu Muhammad ibnu Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haid.”

“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”

Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut. Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"

Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.

Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.

Kalau yang dimaksud Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah adalah para Ahli Hadits, pergi ke Apoteker memang menjadikan kita memperoleh obat. Jawabannya terang dan pasti; sakit A maka obatnya X.

Tapi cobalah sesekali datang ke majelis Ahli Fiqih yang mungkin tidak tampak sebagai Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah; barangkali di sana kita akan berjumpa dokter yang akan memeriksa kesesuaian kondisi badan kita dengan obat yang ada.

Kadang memang majelis seperti ini tidak langsung tegas memberi jawaban obatnya apa. Telaahnya sering agak memutar, rumusannya juga sering tak pasti, tapi ia memberi kita wawasan untuk berpikir serta memutuskan pilihan sendiri. Demikianlah terapi yang mendewasakan kita dalam beragama. Meskipun begitu, tidak ada hijab bagi kita untuk merekatkan tali ukhuwah, karena masih sangat luas Surga untuk dimasuki sendiri, berbarengan menuju Jannah-Nya, tidak akan membuat surga terasa sesak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal-Soal Sistem Informasi Kesehatan

Teks Doa Dies Natalis Kampus

SURVEILANS KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PERILAKU