Bahagia
Bahagia, sebuah ungkapan yang sering sekali kita dengar, kita fasih dalam menjabarkan makna bahagia. Namun, satu sisi kita kurang memiliki hikmah dalam menghidupkan bahagia kita. Sebuah kisah yang cukup masyhur dikalangan kita.
Dikisahkan hiduplah pemuda yang kala itu sedang kuliah di sebuah universitas terkemuka. Tatkala ia sedang kuliah maka ia terpikir betapa bahagianya jika ia lulus dengan predikat terbaik dan menjadi sarjana tepat waktu. Manakala dia telah lulus dan jadi sarjana sesuai keinginannya, maka dia berpikir betapa bahagianya jika dia meraih gelar Magister. Dan, ketika dia berhasil meraih Magister diapun berpikir betapa bahagianya jika dia bisa meraih gelar Doktor.
Selepas ia pun meraih gelar Doktor dia ternyata tidak bahagia juga karena banyak sekali orang yang bertanya kapan menyempurnakan agama (menikah) padahal telah meraih gelar Doktor. Maka, dia berpikir betapa bahagianya ia jika sudah menikah. Namun, setelah menikah diapun tidak bahagia karena orang-orang bertanya kenapa belum juga memiliki anak. Terus begitu. Jika demikian, bahagia itu milik siapakah?
Terlintas dalam pikiran ini, apakah bahagia itu adalah adanya momentum bisa bercengkrama dengan teman seperjuangan, sahabat karib dan saling berbagi kisah, saling membersamai dan tukar pengalaman. Benar saja mungkin aku bahagia, namun pada titik tertentu, hatiku tak bisa berbohong bahwa ada kejenuhan di dalamnya.
Lalu aku berpikir kembali, sepertinya bahagia itu ketika menikmati kesendirian, menyalurkan hobi diri, berselancar ria di dunia tak nyata, sesekali menyantap lamunan dan merenungi diri. Benar juga, sesaat aku menemukan bahagia milikku. Tapi apa? Lagi dan lagi aku harus berhadapan dengan kejenuhan yang membelenggu diri.
Apa hakikat pencarian makna kebahagiaan, bahwa bahagia akan selalu ada manakala dada terasa lapang apapun kejadian yang datang. Kalaulah orang kaya yang memiliki rumah besar dan mobil mewah hatinya lapang, maka dia akan bahagia. Kalaulah petani yang berada di gubuk tua dan penghasilan mungkin hanya cukup untuk membeli satu mug beras hatinya lapang, maka dia akan bahagia.
Jika kita kembali pada kisah pertama andai saja pemuda yang baru meraih gelar sarjana itu hatinya lapang, maka dia akan bahagia. Siapapun yang hatinya lapang, dia akan bahagia.
Pada akhirnya, aku berusaha menyadarkan diri sendiri. Yang salah bukan disaat keramaian atau disaat kesendirian. Yang salah bukan disaat kita dikaruniakan harta berlimpah atau diberikan harta yang mungkin dirasa kurang cukup untuk kehidupan. Yang salah bukan target yang gagal atau berhasil kita raih selama ini. Yang salah juga bukan ketidakadilan yang yang selalu kita benarkan hadir di hidup kita.
Dada terasa lapang dikala apapun kejadian yang datang itu ada ketika kita maksimal untuk mengingat-Nya. Kita terlupa, bahwa letak kebahagiaan adalah disaat semua aktivitas yang dilakukan dan nikmat yang kita terima senantiasa berorientasi pada-Nya.
Oleh karena itulah, ketika nabi Musa as. hendak menghadapi ayah angkatnya yaitu Fir’aun, beliau memohon kepada Allah Swt. hati yang lapang dengan doanya yang termasyhur, “Rabbishrahlii shadrii wa yassirlii amrii..” Duhai Allah Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku. (QS. Thahaa [20] : 26-27)
Demikian halnya baginda nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam di perang Uhud manakala beliau berada dalam situasi yang sulit, pasukan kaum muslimin terdesak, banyak sahabat yang gugur, dan nabi shalallahu alaihi wasallam berada dalam keadaan yang membahayakan. Pelipisnya berdarah, giginya patah, kakinya pun terluka, namun baginda Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam tetap berada dalam ketenangan. Karena Allah Swt. berfirman, “Alam nasyrah laka shadrak”, “bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu.” (QS. Al Insyirah [94] : 1)
Maka benarlah jika bahagia, manakala mukmin itu, baik dalam keadaan sendiri atau dalam keramaian, kualitas imannya tetap berada dalam jalurnya. Mampu menjaga walau berada dalam dua kondisi yang berbeda. Mampu tetap terjaga dari keburukan baik dikala memiliki kelapangan maupun dikala terdesak.
Semoga kita bahagia memaknai semua kejadian, sendiri ataupun bersama, saat ini ataupun kelak di masa yang tepat.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar yang membangun