Arti Kesanggupan
Mungkin benar adanya jika manusia memiliki kesukaran atau bisa dikatakan perasaan menolak dalam dirinya ketika diberi beban. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita menyukai beban. Beban menjadi kiper dalam sepakbola misalnya, itu berat. Tapi salah seorang dari pemain sepak bola menyukainya. Beban menjadi guru dalam mengajar, itu berat. Tapi salah seorang dari kita menyukai profesi guru. Dalam ibadah, puasa misalnya. Berat sih, tapi karena perintah langsung Allah ta'ala, ya kita lakukan. Pas udah buka, kita bilang, "enak ya puasa ternyata".
Sejatinya, beberapa amanah yang kita sandang di muka bumi pasti ada saatnya kita sukai. Berlelah-lelahnya kita hari ini dalam menyanggupi keharusan amanah itu, suatu saat momentum itu yang kita sukai.
Sama juga dengan amanah menyampaikan Islam. Beragam bentuk dan cara, ada yang kita sukai, ada yang tidak. Tinggal bagaimana kita akhirnya mencari cara agar menyukai itu, merasa nyaman menggandengnya. Selama ini kita rasanya salah menilai bahwa amanah yang berat, harus dihindari, bahkan sampai dibenci. Tidak begitu juga.
Bagi yang ada di harokah dakwah pasti sering mengalami ~Bisa jadi terbesit bosan melalui~ Kita sering diamanahi memberi konsep & ide kreatif dakwah. Tidak jarang setelah itu kita juga yang melaksanakan amanah kreatif itu. Tapi karena kita terlanjur menyukainya, entah kenapa rasanya ringan memikul semua itu. Tanpa beban. Padahal yang dilakukan bisa jadi banyak, mulai dari memikirkan konsep, menyiapkan segala hal yang dibutuhkan ada, bisa jadi cari lokasi, apapun itu.
Tapi tak jarang juga rasa berat dipundak itu menghampiri. Rasa cinta yang kemarin kita miliki, tidak kita temukan (lagi). Sebisa dan semampu mungkin mencoba untuk memberikan perhatian paripurna pada amanah itu, tapi rasanya beban itu seolah-olah memberat dan bertambah berat, hingga kita hampir menyerah.
Terlampau banyak faktor, bisa jadi karena kita punya amanah segudang, atau segunung, atau lebih dari itu. Kadang amanah yang satu tidak semenarik amanah yang lain. Hal ini wajar terjadi, apalagi teman dalam amanah yang satu, tidak lebih baik seperti di amanah yang lain, kurang akrab. Atau topik & acara di amanah yang satu tidak mencuri hati seperti di amanah lain. Sehingga rasanya sulit untuk menghadirkan diri secara totalitas disana.
Lalu kita membuat sebuah tanda tanya besar terhadap diri sendiri. Dimulai dari kata
"Kenapa amanah ini datangnya ke aku ?"
"Kenapa harus aku ?"
Keluh kesah seperti "Aku sibuk, udah banyak banget agenda, bahkan untuk bernapas aja susah, kenapa aku?"
"Aku juga sudah melakukan ini, kenapa aku lagi?"
Intinya semua rasa kesal(ahan), keraguan itu hadir, mencabik diri, hingga saat amanah lainnya memanggil, kita langsung alergi. Kita terlalu merasa sudah lebih dan sudah cukup, hingga kita trauma akan beban.
Lalu datang suatu hari, ketika kita tidak punya amanah lagi. Awalnya hasil dari penolakan kita, pada akhirnya, amanah itu sendiri yang muak dengan kita & kita tidak dicintai oleh amanah lagi. Akan tiba masanya, amanah akan letih dengan kita. Lalu kita lihat orang lain dengan amanah banyak & mereka bahagia menikmati. Disitu kita sadar, selama ini kita belum mencintai dengan benar-benar penuh syukur amanah tersebut.
Kita hanya mencintai apa-apa saja yang sesuai dengan hasrat kita, yang ada dalam angan-angan kita. Maka ketika datang amanah lebih besar, lebih banyak, kita terkungkung & merasa tidak ingin. Kita mulai bertanya pada-Nya, "Lah ini apa lagi?".
Padahal..
"Engkau tidaklah dibebani melainkan atas dirimu sendiri" (QS. An-Nisa:84)
Jawaban ini segalanya. Sudah seharusnya. Karena memang tiada lain hidup kita hanya bicara soal kewajiban yangg harusnya kita tunaikan. Sholat, puasa, zakat, haji, dakwah, memikirkan tetangga, menolong kaum muslimin, menuntut ilmu, banyak sekali.
Jika memang hidup adalah tentang kewajiban, seharusnya kita tidak risau lagi. Karena pasti setelah kewajiban yang satu, akan ada hadir kewajiban yang dua, tiga, dan seterusnya laksana gayung bersambut. Maka, mencintai kewajiban ini juga adalah hal yang harusnya kita lakukan. Sebagaimana pada akhirnya kita mencintai diri sendiri, hidup, & segala kesulitannya. Meski kadang hasil upaya atas beban itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan selama ini. Justru itulah, Allah juga sudah memproyeksikan dan siap menjawabnya.
"Maka jika mereka berpaling, maka ketahuilah kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang" (QS.An-Nahl:82)
Kita harus Kuat(lah).
Sebab Allah telah men'setting' pundak kita sesuai dengan bebannya masing - masing, Sehingga tidak ada kategori kelebihan 'beban'. Pernah berpikir bahwa badan kita lebih baik dibelah menjadi dua atau banyak bagian agar bisa menjalankan semua tugas? Sekali lagi jangan berpikiran begitu ya, selain tidak rasional, kita juga sedang melemahkan pundak kita sendiri, padahal sejatinya kita ini kuat, elemen tubuh kita punya tugasnya masing - masing. Pundak yang nenanggung beban, hati tugasnya mengingat Allah ta'ala dan pikiran bertugas untuk mencari solusi. Tidak ada beban tanpa pundak yang lemah. Karena amanah tidak akan pernah salah memilih pundak.
Seperti tidak akan ada kenikmatan yang diraih dengan kenikmatan pula, pasti diraih dan dibayar tuntas oleh air mata pengorbanan diri. Tere Liye dalam Novel tentang kamu mengatakan "Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun dia, sekali dihatinya punya rasa sabar, dunia tidak akan bisa menyakitinya"
Berdoa, Lakukan, dan Menjadi Lebih.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan komentar yang membangun